29 Desember 2007

Bintang-bintang Alumni Smanda, dari Artis Sinetron hingga Calon Walikota

ULTAH ke-40 Smanda, atau lustrum VIII yang digelar selama sepekan, dari tanggal 23-29 Desember, heboh banget euy! Selain konser NAIF di puncak acara, rangkaian acara lain pun turut menyemarakkan. Di antaranya, pentas musik pelajar, pameran eskul, peletakan batu pertama Aula Alumni dan gedung Komite Sekolah.

Di sela-sela kesibukan, penulis skenario dan bintang sinetron Kang Dicky Chandra pun menyempatkan diri hadir.

“SMAN 2 Tasikmalaya sekarang lebih kreatif. Itu yang diharapkan semua orang, terutama saya sebagai alumni,” katanya saat dicegat reporter Saba Sakola, Journalist 261 Smanda.

Saat ia memandu pemilihan Ketua Alumni, terlontar ungkapan yang mengendap dari perjalanan hidup Kang Dicky, hingga menjadi dirinya saat ini. “Buat adik-adik Smanda yang punya cita-cita. Jangan sampai menyerah di tengah jalan. Seandainya ada kendala, seperti biaya tidak mencukupi, hingga tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Jangan sampai menyerah. Kan, masih ada laternatif lain,” pesan alumni tahun 1993 yang pernah aktif mengikuti eskul basket dan teater itu.

Ia juga bertutur tentang perjalanan karirnya yang sempat jatuh bangun. Bahkan, ia pernah pula menjadi pengamen dan pelayan lho? Itu dulu, saat dia masih belum mapan seperti sekarang.

“Saya berharap ke depan SMAN 2 bisa lebih baik lagi,” katanya.

Selain, Kang Dicky, tampil pula Kang Wahyu, Kang Dudu, Kang Budi Budiman, Kang Hendri Sabet, dan Kang Tedi Setiadi. Mereka duduk satu panggung. Masing-masing menyampaikan pesan dan kesan tentang Smanda, termasuk menyampaikan kriteria calon Ketua Alumni. Mereka semuanya aktivis kampus.

“Calon ketua alumni, musti berdomisili di luar Tasik,” ujar Kang Budi Budiman, yang tempo lalu menjadi salah satu kandidat Walikota Tasikmalaya itu. Menurutnya, yang susah itu, justru menyatukan alumni di luar Tasik.

Usul itu gayung bersambut, dan dipertegas Kang Tedi Setiadi. Akhirnya, mengerucutlah pada satu nama, yakni Kang Iin, yang sekarang menjadi Wakil Direktur Pertamina. Namun sayang, ia tak bisa hadir, lantaran sedang dinas di luar negeri.

“Tapi jika ditunjuk, beliau sudah menyatakan kesediaannya,” tandas Kang Tedi.

Pesta ini pun dijadikan ajang reuni para alumni dari angkatan 1967-2007. Tak urung, sukacita pun berbaur haru, saat mereka saling melepas rindu. Tidak saja bertemu teman-teman lama, namun juga para guru yang pernah mengajar mereka.

Reynaldo & Tina
Journalist 261
SMAN 2 Tasikmalaya

Ocehan Seekor Sapi

SEEKOR sapi mengoceh dalam hatinya, ”Mengapa harus aku yang dibawa? Kenapa hanya aku yang dikorbankan untuk mereka? Apakah karena aku ini sapi yang paling gemuk dan paling banyak dagingnya di antara sapi-sapi Pak Asip yang lainnya? Bukannya aku tak rela mengorbankan diriku untuk kebahagiaan mereka, tetapi aku merasakan sebuah ketidakadilan. Aku sendiri sulit menjelaskannya. Entah mengapa?

”Hmoooooh..!”, Si Sapi melenguh panjang. Besok adalah hari dia akan dikurbankan. Hatinya kembali berkata-kata pada dirinya sendiri, ”Ya! Sebuah ketidakadilan. Ketidakadilan itu yang membuatku bimbang. Aku tidak ingin menyalahi kodrat Allah dengan menolak untuk dipotong. Tapi apakah dengan pengorbanan diriku derita semua manusia akan berakhir? Seandainya aku bisa, aku ingin membesarkan tubuhku sebesar-besarnya, hingga dagingku bisa mengenyangkan perut setiap manusia yang kelaparan di dunia. Namun aku sadar itu hanya khayalanku saja.”

Lamunan Sang Sapi semakin jauh, ”Aku rela leherku disembelih, tubuhku disayat dan dagingku dipotong-potong besok. Tetapi, aku tetap merasa ada ketidakadilan. Bukan ketidakadilan Allah yang aku maksudkan. Aku tidak menyesal akan kodratku sebagai hewan. Aku tidak punya hak apa-apa darinya. Dia-lah Yang Maha Adil. Dan Dia tidak mungkin menimpakan ketidakadilan pada makhluknya. Hanya kepada-Nyalah kembalinya segala sesuatu. Yang aku maksud adalah ketidakadilan manusia”.

Si Sapi terdiam sejenak, seolah prihatin akan keadaan makhluk yang terakhir kali muncul dalam lamunannya itu. Hari semakin petang, Sapi semakin asyik dengan ocehan batinnya, ”Manusia, makhluk yang paling sempurna. Sungguh beruntung mereka, dipercayai Allah untuk mengetahui sebagian kecil ilmu-Nya dengan akal mereka. Yang aku cemaskan, manusia semakin lupa akan kewajiban dan peranannya. Aku takut manusia yang membeliku dan memotongku, berkurban bukan ikhlas karena Allah. Aku takut dagingku dipotong-potong bukan untuk menunaikan syariat, tetapi sebagai topeng untuk mempertahankan dirinya sebagai seorang pejabat yang terhormat di mata masyarakat.

Aku takut dagingku dimakan untuk kesenangan dan pemenuhan hawa nafsu perut saja, bukan untuk dijadikan sebagai jalan bersyukur kepada-Nya. Aku semakin prihatin dengan keadaan manusia yang semakin tidak menyadari eksistensinya. Aku prihatin karena manusia banyak yang ingkar kepada-Nya. Aku prihatin melihat orang menjalankan agama hanya sebagai kewajiban dan pemenuhan kebutuhan psikologis saja, bukan sebagai bentuk keikhlasan kepada Tuhannya.”

Si Sapi memejamkan kedua mata sapi-nya. ”Ah! Kenapa hanya aku yang dikorbankan? Banyak manusia kaya yang lebih patut berkorban dan mengorbankan kekayaannya sendiri. Toh kantung perut mereka tidak akan cukup untuk menampung semua harta mereka. Manusia harus belajar membantu saudaranya yang kesusahan. Manusia jangan terus terlena dengan dunia. Jangan terus menumpuk dunia karena nafsu menguasai. Ya! Ketidakadilan manusia itu adalah hawa nafsu mereka. Itulah yang menimbulkan keingkaran, kesombongan, ketakabburan, iri, dengki, ria, serakah serta penyakit-penyakit lainnya.

Manusia jangan hanya bisa memenggal leherku saja, tetapi mereka juga harus bisa memenggal ketidakadilan mereka itu, memenggal nafsunya, memenggal segala ‘penyakit’ yang ada pada dirinya. Dan untuk memenggal semua itu, manusia harus memiliki pisau hati yang tajam dan bersih.

Sehingga dengan kebersihannya, pisau hati itu akan memancarkan sinar kelembutan sebagai wujud dari pantulan cahaya ilahiah. Kebanyakan, pisau hati manusia masih tumpul dan kotor sehingga tidak bisa memenggal tuntas hawa nafsunya. Manusia seharusnya tahu, untuk mengasah pisau itu diperlukan keimanan dan ketaqwaan kepada-Nya.”

Hari sudah memasuki waktu maghrib, suara adzan berkumandang. Si Sapi terhenyak, ”Kenapa aku harus sejauh ini? Allah Maha Besar. Allah Maha Sempurna. Tentu dia mempunyai kehendak-Nya sendiri dalam mengatur dunia ini. Tentu kehendakNya-lah menciptakan manusia yang ingkar dan yang taqwa. Dia tahu akan segala sesuatu. Aku tak berhak untuk menyesal, takut, atau prihatin akan ketidakadilan manusia. Ketidakadilan yang diciptakan manusia adalan bagian dari keadilan Allah. Maha Suci Engkau Yaa Allah.”

Adzan telah usai, shalat maghrib di mesjid sudah selesai. Sekarang, suara takbir, tahmid dan tahlil bergema, meninabobokan Si Sapi yang matanya sudah mulai berat. Akhirnya, Si Sapi tertidur dalam kepasrahan kepada-Nya. Adakah kita sebagai manusia rela untuk memenggal hawa nafsu kita? Adakah kita ikhlas untuk memenggal kesombongan kita, memotong keingkaran kita kepada-Nya, menyayat habis akhlak buruk kita dan menumbangkan penyakit-penyakit syetan lainnya yang ada pada diri kita? Hanya orang yang memiliki pisau hati yang tajam, bersih dan bercahaya jernih yang bisa melakukannya.

Adakah kita sudah berusaha untuk mengasah pisau hati kita dengan dua sisi batu asahan yang kita sebut Keimanan dan Ketaqwaan kepada-Nya? Ataukah kita masih terlena dengan kehidupan dunia yang sesaat ini? Hanya kita sendiri yang mengetahui jawabannya.

Rachmat Rhamdhani Fauzi
SMAN 1 Tasikmalaya

28 Desember 2007

Andai Aku Jadi Presiden

INDONESIA. Aku bangga tinggal di sini. Tanahnya subur, rakyatnya makmur. Walaupun, kini keadaannya berubah ke arah yang lebih, ya bisa dikatakan tidak lebih baik. Kata orang sih itu murka dari Tuhan. Tapi siapa tahu saja, Tuhan mencintai hamba-Nya dengan cara seperti ini. Dia kan penuh dengan rahasia yang tak mungkin seorang pun tahu.

Andai aku jadi presiden di negeri ini, hal yang pertama akan aku lakukan adalah membuat semua rakyat percaya padaku. Aku melakukan hal itu karena bagaimana mungkin negara yang aku pimpin akan aman dan sejahtera jika rakyatnya sendiri banyak buruk sangka pada pemimpinnya. Tapi aku tak akan susah-susah berkata tentang kebaikan diriku pada mereka. Cape! Daripada aku banyak bicara tentang janji-janji, lebih baik aku langsung ”turun” ke masyarakat. Mungkin itu seperti mustahil. Ya, mustahil sih kalau memang tidak diniatkan sebagai ibadah. Pekerjaan sebagai presiden kan juga ibadah!.

Gini caranya, aku akan menghabiskan masa liburanku dengan mengunjungi provinsi-provinsi secara bergiliran, daripada jalan-jalan ke luar negeri. Kalau masalah pekonomian, aku akan memutuskan agar tidak usah meminjam dana dari luar negeri lagi. Cara lain untuk mendapatkan dana ialah dengan mengoptimalisasikan tenaga kerja di negeri ini. Setelah aku amati, ternyata banyak tenaga kerja berkualitas yang masih menganggur. Dan yang aku tahu, mereka bukannya tidak berusaha, tapi mereka sulit sekali diterima bekerja. Karena tidak punya kenalan di tempat mereka melamar pekerjaan. Aku akan mengerahkan para pencari kerja itu agar sumber daya alam Indonesia yang beraneka ragam dikelola dengan sebaik-baiknya, daripada dikelola oleh perusahaan-perusahaan luar negeri yang hanya memberikan sedikit imbalan untuk kekayaan alam yang berlimpah itu.

Hal yang juga penting bagi makmurnya suatu negara adalah pendidikan rakyatnya. Memang, sekarang ini sekolah dianggap sebagai beban bagi rakyat kecil. Habis, biaya sekolah tambah mahal terus. Padahal, kebanyakan dari mereka memiliki semangat untuk benar-benar mencari ilmu, bukan sekedar gengsi saja. Tapi, semua itu tidak didukung dengan kemujuran mereka sebagai warga suatu negara. Oleh karena itu, aku akan mengadakan suatu seleksi untuk mencari anak-anak yang memiliki motivasi tinggi yang memang tidak mampu untuk sekolah. Kemudian, mereka masing-masing akan dikelompokkan berdasarkan kemampuan yang mereka miliki. Setelah itu, mereka akan dilatih lebih terampil dalam menggunakan kemampuannya, sampai akhirnya bisa bekerja dengan kemampuannya itu.

Sementara itu, untuk meningkatkan pendidikan bagi yang sudah mampu membiayai sekolah, ialah dengan membuat bersekolah tidak sia-sia. Mereka tidak usah mempelajari semua pelajaran di sekolah. Mereka cukup mempelajari mata pelajaran yang menunjang bagi masa depan mereka (tujuannya agar pikiran mereka tidak bercabang-cabang), karena buat apa mereka sekolah kalau hanya untuk mendapatkan nilai bagus (bagaimanapun caranya) tanpa ada bekasnya!

Mereka perlu pengembangan potensi diri untuk masa depan! Mungkin sistem ini semacam penjurusan bakat sejak dini. Indonesia memiliki ragam kebudayaan daerah yang sangat tinggi. Untuk menjaganyaagar tetap lestari, aku akan mengadakan semacam pergelaran akbar di dalam maupun di luar negeri yang khusus menampilkan pertunjukan kebudayaan-kebudayaan
itu setiap tahunnya. Ketika pergelaran itu berlangsung, aku akan mengundang utusanutusan
dari luar negeri. Hal itu dilakukan agar penduduk dari setiap daerah terpacu untuk tetap mempertahankan kebudayaan daerah tempat mereka berasal. Selain itu, masyarakat luar negeri pun akan tahu kekayaan kebudayaan kita. Dan siapa tahu saja dapat lebih meningkatkan devisa bagi negara. Cita-citaku hanya satu, Indonesiaku bisa tersenyum kembali, menyaksikan rakyatnya hidup sejahtera, adil, dan makmur􀂄

Lisma NWB (mantan Presiden Kirlistik SMA Almuttaqin)

About Me, Terrible Person

AKU lahir sebagai individualis yang optimis. Saking optimisnya dengan penuh keyakinan aku selalu mengikuti setiap lomba baca puisi di daerah Tasikmalaya. Namun sayang, jangankan mendapat kehormatan sebagai juara, mengecap manisnya jadi finalis pun tidak.

Padahal, lingkunganku sangat kental dengan segala hal yang berhubungan dengan dunia penulisan. Boleh jadi kemampuan baca puisiku yang kurang matang. Walaupun obsesiku menjadi pembaca puisi yang mahir tidak tercapai, setidaknya obsesi ini menyatakan untuk mendalami lebih jauh tentang puisi yaitu akar dari puisi itu sendiri yaitu teater.

Di teater lah aku digembleng tentang makna kehidupan yang hakiki dilihat dari orientasi real.
Dan tak terasa ada semacam kepekaan yang membuka sedikit relung di bagian terhalus di dalam dada ini. Aku mulai merambah kancah kepenyairan yang membuat rangsangan terbesar dalam hidupku, tantangan yang sangat besar. Bagaimana harus eksis di mana para penikmat seni tidak merasa atas karya kita dan ada perkembangan signifikan atas kualitas karya.

Apalagi saat bermunculan bibit-bibit baru sebagai chalengger yang memberlakukan nature selection sesungguhnya. Untungnya aku punya sedikit keberanian untuk menaburkan sedikit bisa. Taburan itu ada semacam candu rindu, baik penulis atau pembaca menyimpan rindu untuk karya nyeleneh selanjutnya.

Tapi hanya sebagai penyair saja aku merasa tidak cukup puas karena mungkin penghargaan
untuk suatu pengakuannya pun sangatlah kurang dan aku mencoba mencari media lain yang tidak terlalu menyimpang untuk menyalurkan kecintaanku terhadap teater (berhubung keterbatasan waktu).

Tanpa sengaja di saat kosong pelajaran di sekolah, teman baikku yang membaca majalah remaja ”gadis”, melihat ada sebuah artikel yang mengumumkan perlombaan baca cerpen Pramudya Ananta Toer tanggal 22,23,24 September 2003, dengan uang pendaftaran Rp 20.000,OO.

Wah ini menantang sekali bagitu karena di situ hanya dicantumkan tingkat SMA, namun wilayahnya tidak ditentukan. Ini berarti lomba itu bisa dikategorikan berskala Nasional. Aku pun memohon kepada ayahku supaya mendaftarkanku dan dua minggu sebelum acara naskah cerpen itu sudah ada di tanganku.

Karya-karyanya sangat menarik dan berbobot, aku sih merasa optimis, minimal bisa tembus tahap final saja sudah senang apalagi aku pernah punya pengalaman menang lomba di Unsil, baca cerpen Dies Natalies 2003 juara ke-2.

Tapi yang menyedihkan persyaratan tidak semuanya terpenuhi apalagi tentang fotokopi
identitas dan formulir diberikan pada saat technical meeting. Celakanya, aku memang tidak ikut TM, saat itu keluargaku pergi ke Bandung tempat kejuaraan itu berlangsung, ehm.. sekitar
2 hari sebelum perllombaan dan sialnya aku yang seharusnya ikut untuk persiapan lomba itu ternyata tertinggal di Tasik. Waktu itu sedang berlangsung kegiatan di sekolah, orang tua ku
menjemput ke sekolah tapi kita tidak saling bertemu dan karena jengkel ayahku dan keluarga pergi ke Bandung.

Aku menangis seharian di rumah, memang saat itu aku tidak punya persiapan apa-apa dan karena malas (walaupun keinginan untuk mengikuti lomba itu besar) aku hanya membaca 2 kali balik saja kumpulan cerpen untuk perlombaan itu, tapi tetap saja aku kecewa karena teman-temanku= dan Abah (guru yang memberikan teknikteknik untuk perlombaan) mengetahui rencana aku mengikuti lomba ini, kan malu kalau aku membatalkan semuanya.

Besoknya ayahku datang bersama keluargaku ke Tasik, aku benar-benar kena marah, dan keesokan harinya dimana saat inilah acara yang aku tunggutunggu akan dimulai, aku bangun kesiangan sekitar pukul 7 pagi padahal acara dimulai pukul 8 pagi, aku panik dan membujuk
orangtuaku agar bisa pergi ke Bandung, namun sia-sia saja mereka amat khawatir bila aku
nekad pergi sendiri apalagi aku memang tidak menguasai daerah Bandung, aku menangis sejadi-jadinya dan karena tidak tega orangtuaku mengizinkan aku pergi dengan syarat mereka
akan menelpon pihak panitia supaya aku dimasukan ke no undian terakhir.

Serasa mengawali sebuah petualangan aku pergi ke Bandung sendiri dan hanya
dibekali uang Rp 45.000,00 selama 3 hari, aku sampai di Gd. Landlard sebelum Gereja Bethel dengan perasaan tak karuan, bau tubuh campur aduk dan yang pasti wajah yang kucel, segera saja aku konfirmasikan ke pihak panitia dan memang aku menempati nomor urut 30-an
yang merupakan no terakhir.

Tapi aku melihat pemandangan ganjil perihal kostum peserta lain yang semuanya memakai
baju seragam sekolah. Oh yach, kesialan yang berturut-turut, pihak panitia dan juri memakluminya. Uch, hari yang melelahkan, penantian yang sangat lama tapi mengasyikan.
Aku bisa berkenalan dengan para murid SMA di Bandung, SMA 5, SMA 10 SMA 12, SMA Taruna Bakti yang mendominasi peserta.

Aku membayangkan betapa jenuhnya juri melihat penampilan ku yang terakhir lalu aku membuat sebuah taktik dengan membaca cerpen, selalu pembuka dan judul dibaca dibelakang meja juri sebelum menuju panggung dan itu aku rasakan bisa dibilang pencerahan dari semua peserta yang memang luwes, pembacaan bagus tapi tidak ada kesan tengil dan menggigit.

Akhirnya acara pada hari itu berakhir pula, aku pulang bersama rekan-rekan performing artist yang cool dan hebatnya aku bisa berkenalan dengan seniman jalur berbeda denganku. Keesokannya merupakan hari tenang untuk persiapan final besok, aku hanya membaca selewat
cerpen apa yang sekiranya bakal aku bacakan itu pun kalau aku bisa lolos final, dan hari itu hari yang benar-benar memdebarkan apalagi dari teknis penyebutan/pemanggilan finalis yang dibacakan oleh finalis sebelumnya.

Kira-kira pukul satu siang ada salah seorang panitia yang memanggilku secara sopan dan menegur attitudeku apalagi ditambah dengan pihak juri yang complain terhadap mereka tentang keberadaanku yang tidak taat pada butir-butir peraturan Technical Meeting, dan di
saat itu pula pihak panitia memintaku untuk mengganti kostum bebasku dengan baju seragam
sekolah.

Betapa terkejutnya, untung aku tadi berkenalan dengan sekumpulan peserta dari SMA 5 Bandung dan mereka sangat excited untuk meminjamkan baju seragam, dari seorang teman wanita yang bertubuh bisa dibilang lebih besar. Aku pergi ke kota yang lumayan jauh di Dipatiukur dan mengikuti perlombaan dengan memakai baju seragamnya yang sangat besar ukurannya di tubuhku.

Ufh..padahal aku tidak perlu cape-cape begini. Belum tentu aku masuk final, sampai finalis ke 6 pun aku mulai berpikir untuk pulang ke Tasik. Soalnya kalau sudah terlalu sore biasanya akan
jarang dan banyak sekali risikonya, tubuhku terasa panas dingin dan kepala pusing ketika itu aku sedang duduk sambil dipijat refleksi tangan untuk mengurangi rasa sakit dan ketika itu pula namaku dipanggil dengan memberikan sentuhan yaitu membacakan puisi pendek dari kursi itu dan seperti biasanya aku mencoba tampil nyeleneh.

Pembacaan pemenang pun dilakukan malam itu juga dan sebelumnya ada pembacaan cerpen yang keren sekali oleh Imam Soleh dan tanpa diduga pembacaan juara pertamanya oleh seorang
penulis dengan bahasa padangnya yang kental mampu mengiringku untuk merasakan kepuasan batin dan seperti orang gila ketika pulang aku makan malam dengan nasi bungkus sambil teriak-teriak di depan Balai Kota.

Nikmatnya. Terima kasih.

Intan Anggita Pratiwie Minharyanto, veteran Teater Elips SMAN 2 Tasikmalaya

Surat untuk Pak Walikota

SEBELUMNYA, maaf kalau saya mengganggu kesibukan bapak yang saya yakin kesibukan itu ditujukan untuk memakmurkan masyarakat Tasik bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan
pribadi. Saya adalah warga kota Tasik yang mengenyam pendidikan di SMA Al Muttaqin.
Saya menulis surat ini semata-mata karena saya peduli pada kota yang saya tempati.

Saya memang bukan orang Tasik asli. Kalau Tasikmalaya diumpamakan manusia tentunya umur enam tahun adalah masih lucu-lucunya tapi Tasikmalaya bukanlah manusia.
Tasik adalah sebuah kota yang mulai berkembang dan terkenal sebagai kota santri. Saya yakin sebutan itu bukan hanya isapan jempol belaka. Dengan adanya 111 pesantren yang ada di Kota Tasikmalaya, sudah membuktikan bahwa Tasik memang Kota Santri. Tapi apakah sebutan itu akan terus ada atau akan menguap, lalu hilang?

Banyak hal yang saya pelajari dari kota ini. Tata bahasanya, adat istiadat, budaya dan banyak hal lagi tapi saat ini saya tidak akan menceritakan pada bapak tentang hal yang banyak itu. Saya hanya ingin bapak tahu tentang kehidupan kecil seorang pelajar.

Pak, apakah Bapak pernah mengunjungi satu sekolah lalu ke sekolah lain? Pernah berbincang
dengan banyak pelajar dalam waktu yang relatif lama dan hanya bapak dan mereka yang ada di tempat itu? Kalau bapak tidak pernah melakukannya, saya akan membantu bapak agar bapak tahu apa yang ada di pikiran kami.

Saya tahu tugas pelajar adalah belajar semaksimal mungkin untuk kemajuan dirinya sendiri, daerahnya dan bangsanya tapi apa kami bisa belajar dengan baik kalau biaya pendidikan selalu bertambah dari waktu ke waktu?

Dengan satu pertanyaan yang selalu ada di benak kami, apa kami masih bisa sekolah bulan depan, semester depan, bahkan mungkin tahun depan? Apa mungkin dengan banyaknya target yang harus dicapai tanpa ada yang mengerti seberapa besar kemampuan kami dalam belajar, kami bisa lulus sekolah dengan kualitas yang bisa dibanggakan?

Apa mungkin ilmu yang disampaikan akan benar-benar dimengerti kalau para pengajarnya sendiri bukan dari bidangnya? Bukankah Rasulullah mengajarkan bila kau ingin bertanya, tanyalah pada yang ahli? Apa mungkin kota Tasikmalaya dapat mencetak generasi muda yang
tidak hanya berilmu tapi juga beriman kalau orang yang seharusnya menjadi tauladan kami, bertindak setengah-setengah dalam menjalankan tugasnya?

Apa kami bisa berkembang dan maju kalau kami berjalan sendiri? Pak, sudah jadi rahasia
umum, banyak sekali tikus-tikus kecil yang merampas hak kami, merampas apa yang seharusnya menjadi milik kami sehingga kami tidak bisa menggunakan buku-buku bermutu, laboratorium lengkap dan fasilitas layak. Apa yang akan bapak lakukan pada tikus-tikus
kecil itu?

Pak, kalau Bapak punya waktu, mampirlah ke sekolah- sekolah yang ada di Kota Tasik. Katanya pelajar adalah generasi muda yang nantinya akan meneruskan kerja pejabat yang ada di pemerintahan tapi kami tidak diberi kesempatan bertemu dengan pejabat-pejabat itu. Tidak pernah diberi waktu untuk mengeluarkan uneg-uneg dan menyampaikan saran kami.

Jujur Pak, sampai saat ini saya belum pernah melihat Bapak. Jangankan dari jauh, dari dekatpun tidak pernah. Bagaimana mungkin warga Tasik akan mencintai pemimpinnya
kalau tidak pernah bertatap muka. Bukankah pemimpin akan dicintai kalau ia dekat
dengan rakyat? ***

Aulya Deffitha (veteran Q-Smart SMA Almuttaqin)

Menjadi Nakhoda

MEMANDANG kehidupan tak semudah mengedipkan mata. Dia itu besar, luas, serta penuh makna. Dari mana arah kita melihat, tidak cukup 360 derajat. Namun, kita dipaksa untuk memandang dan memahaminya.

Bila tidak, akan terjerat tipuannya. Bukan, bukan karena dia jahat. Kita memang terlalu meremehkannya. Seorang merasa hidup ini hanya mengendarai otak kirinya. Ia tidak peduli dengan udara sekitar yang kian mengacuhkannya. Egois, temannya bilang. Yang ia tahu hanya teori-teori memusingkan. Lama-lama batu pun kalah dan hancur oleh pikirannya.

Semakin ia mengetahui suatu hal, semakin jauh ia dari Pemiliknya. Kata iman pun hanya sekedar titipan yang seolah tak sabar ia kembalikan. Bahkan, rasa simpati pun memudar dari wajah sayunya. Atmosfir dirasa ganas, ia pun balik melawannya. Gila! Padahal Pemiliknya tak menginginkannya.

Sombong ia! Setelah itu dari mana ia mendapatkan nyawa kehidupan lagi? Bukankah dari atmosfir itu? Lalu apa yang ia sumbangkan bagi mereka? Tak ada. Kepalanya semakin atas memandang langit-langit yang semakin tak terlihat ujungnya. Tangannya tak pernah menunduk seolah tak mengacuhkan gravitasi bumi.

Saat itu, ia teringat teman satu-satunya yang ia miliki. Ia mulai bertukar pikiran bersamanya. Teman itu selalu peduli pada dirinya. Ajaib! Ia mulai menyadari kesalahan-kesalahan yang
ia perbuat. Temannya mulai memasukan uraian-uraian yang panjang dan lebih rumit dari teori-teori yang dulu ia pelajari dengan sangat mudah. Teori baru yang ia dapatkan sangat
berbeda dengan teori terdahulu.

Teori ini minta diaplikasikan bukan hanya dihapal untuk mendapatkan nilai yang tinggi. Uraian itu mengingatkan pada potongan-potongan kehidupan
sekitar. Tak jauh. Memahami bukan berarti menatapnya dalam-dalam tanpa berkedip sedikitpun. Namun, rasakan napasnya, siramlah ia dengan air mawar yang akan mengharumkannya, sayangilah atmosfir di sekitarnya.

Walaupun sulit beberapa orang pikir dan mungkin waktu yang diperlukan pun lama. Evolusi.
Terbangkanlah keegoisannya itu. Jadikanlah diri selalu ada dalam bayang- bayang Pemilik kita, walaupun ujiannya lebih sulit dari pada ujian matematika atau fisika! Jangan mau jadi perahu yang dikendalikan air, berusahalah agar kita jadi nahkoda bagi perahu kita!***

Lisma NWB (mantan Presiden Kirlistik SMA Al Muttaqin)