28 Desember 2007

About Me, Terrible Person

AKU lahir sebagai individualis yang optimis. Saking optimisnya dengan penuh keyakinan aku selalu mengikuti setiap lomba baca puisi di daerah Tasikmalaya. Namun sayang, jangankan mendapat kehormatan sebagai juara, mengecap manisnya jadi finalis pun tidak.

Padahal, lingkunganku sangat kental dengan segala hal yang berhubungan dengan dunia penulisan. Boleh jadi kemampuan baca puisiku yang kurang matang. Walaupun obsesiku menjadi pembaca puisi yang mahir tidak tercapai, setidaknya obsesi ini menyatakan untuk mendalami lebih jauh tentang puisi yaitu akar dari puisi itu sendiri yaitu teater.

Di teater lah aku digembleng tentang makna kehidupan yang hakiki dilihat dari orientasi real.
Dan tak terasa ada semacam kepekaan yang membuka sedikit relung di bagian terhalus di dalam dada ini. Aku mulai merambah kancah kepenyairan yang membuat rangsangan terbesar dalam hidupku, tantangan yang sangat besar. Bagaimana harus eksis di mana para penikmat seni tidak merasa atas karya kita dan ada perkembangan signifikan atas kualitas karya.

Apalagi saat bermunculan bibit-bibit baru sebagai chalengger yang memberlakukan nature selection sesungguhnya. Untungnya aku punya sedikit keberanian untuk menaburkan sedikit bisa. Taburan itu ada semacam candu rindu, baik penulis atau pembaca menyimpan rindu untuk karya nyeleneh selanjutnya.

Tapi hanya sebagai penyair saja aku merasa tidak cukup puas karena mungkin penghargaan
untuk suatu pengakuannya pun sangatlah kurang dan aku mencoba mencari media lain yang tidak terlalu menyimpang untuk menyalurkan kecintaanku terhadap teater (berhubung keterbatasan waktu).

Tanpa sengaja di saat kosong pelajaran di sekolah, teman baikku yang membaca majalah remaja ”gadis”, melihat ada sebuah artikel yang mengumumkan perlombaan baca cerpen Pramudya Ananta Toer tanggal 22,23,24 September 2003, dengan uang pendaftaran Rp 20.000,OO.

Wah ini menantang sekali bagitu karena di situ hanya dicantumkan tingkat SMA, namun wilayahnya tidak ditentukan. Ini berarti lomba itu bisa dikategorikan berskala Nasional. Aku pun memohon kepada ayahku supaya mendaftarkanku dan dua minggu sebelum acara naskah cerpen itu sudah ada di tanganku.

Karya-karyanya sangat menarik dan berbobot, aku sih merasa optimis, minimal bisa tembus tahap final saja sudah senang apalagi aku pernah punya pengalaman menang lomba di Unsil, baca cerpen Dies Natalies 2003 juara ke-2.

Tapi yang menyedihkan persyaratan tidak semuanya terpenuhi apalagi tentang fotokopi
identitas dan formulir diberikan pada saat technical meeting. Celakanya, aku memang tidak ikut TM, saat itu keluargaku pergi ke Bandung tempat kejuaraan itu berlangsung, ehm.. sekitar
2 hari sebelum perllombaan dan sialnya aku yang seharusnya ikut untuk persiapan lomba itu ternyata tertinggal di Tasik. Waktu itu sedang berlangsung kegiatan di sekolah, orang tua ku
menjemput ke sekolah tapi kita tidak saling bertemu dan karena jengkel ayahku dan keluarga pergi ke Bandung.

Aku menangis seharian di rumah, memang saat itu aku tidak punya persiapan apa-apa dan karena malas (walaupun keinginan untuk mengikuti lomba itu besar) aku hanya membaca 2 kali balik saja kumpulan cerpen untuk perlombaan itu, tapi tetap saja aku kecewa karena teman-temanku= dan Abah (guru yang memberikan teknikteknik untuk perlombaan) mengetahui rencana aku mengikuti lomba ini, kan malu kalau aku membatalkan semuanya.

Besoknya ayahku datang bersama keluargaku ke Tasik, aku benar-benar kena marah, dan keesokan harinya dimana saat inilah acara yang aku tunggutunggu akan dimulai, aku bangun kesiangan sekitar pukul 7 pagi padahal acara dimulai pukul 8 pagi, aku panik dan membujuk
orangtuaku agar bisa pergi ke Bandung, namun sia-sia saja mereka amat khawatir bila aku
nekad pergi sendiri apalagi aku memang tidak menguasai daerah Bandung, aku menangis sejadi-jadinya dan karena tidak tega orangtuaku mengizinkan aku pergi dengan syarat mereka
akan menelpon pihak panitia supaya aku dimasukan ke no undian terakhir.

Serasa mengawali sebuah petualangan aku pergi ke Bandung sendiri dan hanya
dibekali uang Rp 45.000,00 selama 3 hari, aku sampai di Gd. Landlard sebelum Gereja Bethel dengan perasaan tak karuan, bau tubuh campur aduk dan yang pasti wajah yang kucel, segera saja aku konfirmasikan ke pihak panitia dan memang aku menempati nomor urut 30-an
yang merupakan no terakhir.

Tapi aku melihat pemandangan ganjil perihal kostum peserta lain yang semuanya memakai
baju seragam sekolah. Oh yach, kesialan yang berturut-turut, pihak panitia dan juri memakluminya. Uch, hari yang melelahkan, penantian yang sangat lama tapi mengasyikan.
Aku bisa berkenalan dengan para murid SMA di Bandung, SMA 5, SMA 10 SMA 12, SMA Taruna Bakti yang mendominasi peserta.

Aku membayangkan betapa jenuhnya juri melihat penampilan ku yang terakhir lalu aku membuat sebuah taktik dengan membaca cerpen, selalu pembuka dan judul dibaca dibelakang meja juri sebelum menuju panggung dan itu aku rasakan bisa dibilang pencerahan dari semua peserta yang memang luwes, pembacaan bagus tapi tidak ada kesan tengil dan menggigit.

Akhirnya acara pada hari itu berakhir pula, aku pulang bersama rekan-rekan performing artist yang cool dan hebatnya aku bisa berkenalan dengan seniman jalur berbeda denganku. Keesokannya merupakan hari tenang untuk persiapan final besok, aku hanya membaca selewat
cerpen apa yang sekiranya bakal aku bacakan itu pun kalau aku bisa lolos final, dan hari itu hari yang benar-benar memdebarkan apalagi dari teknis penyebutan/pemanggilan finalis yang dibacakan oleh finalis sebelumnya.

Kira-kira pukul satu siang ada salah seorang panitia yang memanggilku secara sopan dan menegur attitudeku apalagi ditambah dengan pihak juri yang complain terhadap mereka tentang keberadaanku yang tidak taat pada butir-butir peraturan Technical Meeting, dan di
saat itu pula pihak panitia memintaku untuk mengganti kostum bebasku dengan baju seragam
sekolah.

Betapa terkejutnya, untung aku tadi berkenalan dengan sekumpulan peserta dari SMA 5 Bandung dan mereka sangat excited untuk meminjamkan baju seragam, dari seorang teman wanita yang bertubuh bisa dibilang lebih besar. Aku pergi ke kota yang lumayan jauh di Dipatiukur dan mengikuti perlombaan dengan memakai baju seragamnya yang sangat besar ukurannya di tubuhku.

Ufh..padahal aku tidak perlu cape-cape begini. Belum tentu aku masuk final, sampai finalis ke 6 pun aku mulai berpikir untuk pulang ke Tasik. Soalnya kalau sudah terlalu sore biasanya akan
jarang dan banyak sekali risikonya, tubuhku terasa panas dingin dan kepala pusing ketika itu aku sedang duduk sambil dipijat refleksi tangan untuk mengurangi rasa sakit dan ketika itu pula namaku dipanggil dengan memberikan sentuhan yaitu membacakan puisi pendek dari kursi itu dan seperti biasanya aku mencoba tampil nyeleneh.

Pembacaan pemenang pun dilakukan malam itu juga dan sebelumnya ada pembacaan cerpen yang keren sekali oleh Imam Soleh dan tanpa diduga pembacaan juara pertamanya oleh seorang
penulis dengan bahasa padangnya yang kental mampu mengiringku untuk merasakan kepuasan batin dan seperti orang gila ketika pulang aku makan malam dengan nasi bungkus sambil teriak-teriak di depan Balai Kota.

Nikmatnya. Terima kasih.

Intan Anggita Pratiwie Minharyanto, veteran Teater Elips SMAN 2 Tasikmalaya

Tidak ada komentar: