03 Januari 2008

"Sapoe di Tatar Sunda" SMAN 1 Singaparna

SMAN 1 Singaparna kembali bikin acara. Setelah sukses menggelar 'Sapoe Di Tatar Sunda' tahun kemarin,pada hari Rabu,26 Desember lalu bertempat di lapangan utama SMAN1 Singaparna acara tersebut kembali dilaksanakan. Kali ini 'Sapoe Di Tatar Sunda Jilid 2' mengusung tema 'Imah Urang Tatanga Urang'.

Bila tahun kemarin hanya menggunakan adat istiadat Sunda, tahun sekarang makin meriah, lantaran menampilkan berbagai budaya di Indonesia. Acara yang sekaligus merupakan ujian semester mata pelajaran Seni Budaya bagi siswa-siswinya tersebut, disambut hangat. Tampak hadir tamu undangan seperti pers, beberapa kepala sekolah dan seniman di Kab. Tasikmalaya, Dinas Pendidikan, alumni, serta perwakilan sekolah, salah satunya dari SMAN 24 Bandung.

Setiap kelas menampilkan kreasinya. Ada yang mengatur latar, menari, stan makanan dan aransemen musik. Untuk kelas XII IA mempersiapkan latar rumah-rumah adat yang berbeda. Ada yang Betawi, Yogyakarta, Aceh, Bali dan Irian. Setiap siswa berpakaian adat daerah sesuai kesepakatan kelas masing-masing. Untuk kelas XII IS dan Bahasa menampilkan aransemen musik daerah sekaligus tariannya.

Khusus kelas XI baik IA,IS,maupun Bahasa mereka menampilkan tarian komunal berbagai daerah. Di antaranya dari Sulawesi, Irian, Batak, Banten, Padang dan Provinsi lainnya. Mereka menunjukan kebolehannya. Yang paling menyedot perhatian adalah kelas XI IA 4 yang menari khas Irian.Mereka berpakaian putih dihiasi dengan rubai-rumbai terbuat dari tali rapia, di samping memakai berbagai aksesoris khas Irian. Disamping itu kelas XI IS4 dengan tarian Bali yaitu tari Kecak, Reog Ponorogo oleh kelas XI IA3, serta tarian lainnya pun tak kalah menariknya.

Di samping itu terdapat juga tarian khas Aceh yaitu tari Saman yang ditampilkan oleh kelas XII IA 4 dilanjutkan dengan do'a bersama yang dipimpin oleh mantan ketua OSIS SMAN1 Singaparna, Diar Rosdayana, karena hari tersebut bertepatan denga tiga tahun peristiwa Tsunami di NAD.

Acara yang dipandu oleh H. Endang Solih dan Agus AW tersebut semakin meriah dengan adanya salah satu siswa bernama Anjil yang berpakaiaian ala Irian yang seringkali menemani mereka.Dengan gayanya yg khas semakin menambah semaraknya acara tersebut.
"Acara ieu manfaat pisan sabab tiasa ngalestarikeun budaya anu aya di tatar sunda jeung budaya sabunderunana,kum na mah budaya anu diwariskeun ku karuhun urang pikeun bangsa Indonesia, ulah nepika budaya asli urang teh direbut ku nagara batur" tutur Resti," siswA kelas XII IA 3 dengan menggunakan bahasa Sunda. memang pada hari itu seluruh siswa dan karyawan SMAN 1 Singaparna diwajibkan memakai bahasa Sunda.

Acara sempat terhenti sekitar pukul 11.30 karena dilaksanakan pembukaan aula serba guna SMAN 1Singaparna. Aula tersebut menghabiskan dana sekitar 1,5 Milyar. Setelah pengguntingan pita, aula dibuka oleh kepala Sekolah dan perwakilan dari Dinas Pendidikan Kab. Tasikmalaya. Ternyata di dalamnya telah disediakan beberapa stan makanan khas berbagai daerah di Indonesia yang disediakan secara cuma-cuma oleh siswa kelas X. Setelah terhenti sekitar setengah jam, acara 'Sapoe di Tatar Sunda Jilid 2' dilanjutkan kembali. Acara ini berakhir sekitar pukul 13.30 WIB.

Leti Andriani
SMAN 1 SINGAPARNA

01 Januari 2008

Merengek Pengen Perosotan

SUPRIADI, anak semata wayang yang maish berumur sekitar 7 tahunan ini hidup berkelana di kawasan Dadaha tanpa rawatan dan kasih saying orang tuanya. Entah bagaimana historis kehidupannya. Yang jelas, kini dia hidup sendiri, mengikuti hembusan angin yang membuatnya bergerak tak pasti. Tanpa tujuan jelas.

Dadaha adalah tempat yang mempertemukan kami bertiga. Dia datang menghampiri kami seraya berkata, “Ukeun teh!”

Saat itu juga, senda gurau kami terhenti ketika mendengar lantunan lagu ngilu serta raut wajah polos Supriadi yang menunjukan sebuah kepedihan. Nurani bergetar. Kami tak kuasa menahan iba. Kehadiran Supriadi di hadapan kami seolah memberikan peluang inspirasi kami.

The opportunity just will come at the first, not to second
. Kalimat itu melintas di benak kami berdua. Pembelajaran tentang kejurnalisan yang dulu sempat kami ikuti, kami praktikan di sini. Beberapa hal mendasar kami tanyakan kepada sosok mungil itu.
Kehidupannya tidak seindah dunia kita. Sejak kecil, ia sudah sendirian di tepi jalan Dadaha. Setiap hari, ia makan dengan harapan uluran tangan. Baju hijau yan ia kenakan adalah satu-satunya baju yang ia miliki.

“Bajunya dicuci sendiri, diditu. Eueu di Di Pancasila.” Suaranya semakin melemah. Sebuah tanda tanya besar bagi kami. Tadinya, ingin sekali kami mengulik lebih jauh. Tapi, melihat matanya sudah berkaca-kaca dan kami takut menjadi beban psikologis buat dia, akhirnya kami menyakan hal lain.
Sama dengan anak-anak yang kurang beruntung untuk mengenyam pendidikan. Ingin sekolah. Kami jadi terenyuh, bercermin pada diri sendiri yang kadang menyia-nyiakan kesempatan untuk belajar. Saat ditanya tentang cita-citanya, dia mengungkapkan bahwa dia ingin menjadi pedagang hp (handphone-red) karena menurut dia, menjadi penjual hp akan membuat dia
banyak uang.

Ketika kami mencatat perkataannya, sambil sedikit merengek, dia mengungkapkan keinginannya untuk bisa bermain seluncuran yang menjadi salah satu wahana bermain anak-anak di pesta rakyat. Kami tanya alasannya mengapa dia belum mewujudkan keinginan jangka pendeknya itu. “Abi teu gaduh acis, da kedah gaduh 10 rebu heula!”
Mendengar rengekan itu, kami jadi teringat akan sikap kami yang begitu manja saat keinginan harus mereka wujudkan. Padahal, dia, seorang manusia kecil, begitu sulitnya mewujudkan keinginannya yang hanya ingin bermain perosotan.

Ngilu hati ini. Sebuah pembelajaran baru untuk kehidupan kami. Kemandirian yang belum sama sekali kami sentuh, ternyata seorang anak lugu tak beralas kaki yang meluluhkannya.
Sosok Supriadi merupakan salah satu potret anak bangsa yang kurang beruntung. Dia butuh uluran tangan orang-orang dermawan. Butuh perlindungan, merindukan kasih sayang. Coba buka mata kita. Wujudkan Indonesia 2015 yang jauh dari kemiskinan dan kebodohan! Merdeka!

S. A. Deliabilda & Depania N. Saqiena
deliabilda-tiemuttaqin.blospot.com &
mojang-ciawi.blogspot.com
SMA Al Muttaqin

31 Desember 2007

Smanda 40 Anniversary's Fair

SEMUA siswa mendapat kesempatan untuk unjuk gigi dalam perayaan HUT ke 40 SMANDA kali ini. Seluruh siswa berlomba-lomba untuk menyumbangkan berbagai ide untuk menjadi sebuah pameran yang lain dari biasanya. Mulai dari ekskul Journalist 261 sampa program unggulan Fisika berlomba-lomba untuk menunjukan suatu pameran dari karya siswanya masing-masing yang dapat menarik minat pengunjung.

Pastinya seluruh stan pameran yang ada selalu dipadati oleh siswa yang berkunjung. Stan pameran siswa sangat beragam, mulai dari Journalist 261 yang banjir artikel dan menampilkan madding yang bervariasi hasil karya siswa SMANDA. Stan ICT (computer) yang menampilkan berbagai design grafis yang enak di mata, software sederhana karya siswa dan yang enggak kalah serunya ada program cara robot bekerja, wuichh canggihnya!


Eits enggak hanya itu aja, ada stan fisika yang nampilin berbagai macam aplikasi dari ilmu fisika dalam kehidupan sehari-hari lhodan teropong bintang. Begitupun dengan stan matematika, merekan ingin menunjukan bahwa matematika enggak sulit, tapi sebagai ilmu dasar dalam kehidupan sehari-hari. Stan biologi pun ingin nunjukin daur kehidupan yang mudah dimengerti dan dipahami dan stan kimia yang menawarkan berbagai macam reaksi percobaan kimia untuk kita pelajari dan mengerti. Dan pastinya dari seluruh ekskul yang ada di SMANDA seperti VBM 261, PSM 261, Pramuka, Paskibra, Napak rimba dll ang memamerkan segudang prestasi yang telah mereka capai dan berbagai games sederhana yang membuat pengunjung penasaran jikalau tidka mencobanya. Finally, pameran pendidikan siswa di HUT SMANDA yang ke 40 rame pisan euy…

Felysia Nurul & Citra Annesa Journalist 261

30 Desember 2007

“Primitifnya Pendidikan Indonesia”

PERBINCANGAN tentang masalah kekerasan di dunia pendidikan sepertinya sudah sangat serius, apalagi kasus kekerasan terhadap mahasiswa IPDN yang memunculkan korban jiwa ataupun kekerasan yang sekarang sedang hangat-hangatnya dilakukan oleh geng motor yang disinyalir anggotanya adalah pelajar SMA dan SMP. Sementara kita dan negara malah asyik membahas UN yang notabene hanyalah masalah IQ semata-mata.

Sebenarnya kekerasan adalah salah satu bentuk budaya primitif yang ingin dihilangkan lewat pendidikan. Jika pendidikan tetap mengajarkan bentuk-bentuk kekerasan, maka pendidikan kita tidak ubahnya mendidik siswa menjadi orang-orang yang primitif, yang suka bertindak kasar, gampang marah, dan mudah membenci orang tanpa alasan yang jelas.

Warna kekerasan dalam pendidikan kita mencerminkan kurangnya ajaran kasih sayang dalam setiap proses pembelajaran di dalam kelas. Enggak jarang guru cenderung meletakkan siswa sebagai obyek, bukan subyek; bukan pribadi-pribadi yang memiliki kekhasan yang patut dihargai, tetapi malah diseragamkan lewat bahasa "disiplin".

Terjadinya kekerasan dalam dunia pendidikan tidak lepas dari rendahnya bentuk pemahaman tentang kekerasan serta ketidakmampuan guru dalam menangkap dampak dari setiap kekerasan yang dilakukan. Mestinya, sebagai seorang pendidik, guru memahami unsur-unsur negatif yang dibawa oleh perbuatan yang penuh dengan kekerasan. Mendisiplinkan murid sejak dini bagi murid SD, misalnya, tidak cukup dan tidak tepat dengan memberikan pekerjaan rumah yang jumlahnya lebih dari 75 soal. Atau menghukum murid kelas XII SMA yang kesiangan dengan cara menyuruhnya berlari mengelilingi lapang upacara sambil berteriak “Aku berjanji tidak akan kesiangan lagi".

Hukuman-hukuman fisik semacam itu tidak akan membuat efek jera bagi siswa atau murid. Hukuman itu malah menumbuhkan perasaan benci dan tidak hormat kepada guru yang bersangkutan. Sebab, siswa memiliki kesempatan yang cukup luang untuk bercerita kepada teman-temannya tentang "kesuksesannya" membuat guru yang bersangkutan marah sekaligus merendahkannya dalam citra yang diceritakan oleh siswa bersangkutan kepada orang lain.

Fenomena semacam ini seharusnya dicermati oleh orangtua dan komite sekolah. Orangtua punya hak untuk mempertanyakan dan menyampaikan keberatan terhadap proses pendidikan dan ajaran yang tidak sesuai dengan napas pembelajaran. Sebab, sekolah bukan sarana untuk mengajari murid bagaimana menghukum dan mengadili orang-orang yang bersalah.

Kita semua sepakat bahwa kesalahan yang dilakukan oleh murid terkadang pantas mendapatkan hukuman. Namun, jenis hukuman itulah yang seharusnya disesuaikan dengan lingkungan sekolah sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran, bukan penghakiman apalagi pengasingan

Seorang siswa SMP di Demak, Jawa Tengah, yang dipukuli oleh gurunya karena tidak memakai badge identitas sekolah adalah realitas. Kasus kekerasan terhadap murid yang hampir serupa dengan yang dialami siswa SMP Demak tersebut diyakini masih dipraktikkan oleh sebagian guru di berbagai pelosok di Tanah Air; tidak hanya di pedesaan, tetapi juga perkotaan. Apalagi sekolah-sekolah yang terletak di lingkungan sosial yang terlalu memercayakan penuh pendidikan kepada guru atau sekolah.

Kekerasan terhadap murid menunjukkan bahwa transparansi pendidikan dalam satuan sekolah masih sebatas pada transparansi dana. Untuk itu masih sangat dibutuhkan peran dan kepedulian masyarakat untuk mendorong transparansi kualitas dan sistem pembelajaran di setiap satuan sekolah, khususnya bagi orangtua yang menyekolahkan anaknya di satuan sekolah yang bersangkutan. Salah satu caranya adalah menumbuhkan budaya dialog secara rutin, tidak hanya saat pendaftaran siswa baru atau saat mengambil buku rapor. Orangtua dituntut aktif bertanya kepada anak-anak tentang kegiatan dan sejauh mana aktivitas serta perkembangan belajar mengajar di sekolah. Tidak hanya sebatas menanyakan hasil-hasil ulangan.

Kekerasan terhadap siswa dan rendahnya kualitas pendidikan bisa jadi karena kurangnya pengawasan dan lemahnya kemampuan manajerial kepala sekolah, termasuk dalam melakukan pembimbingan dan evaluasi terhadap guru-guru di sekolahnya. Kehadiran komite sekolah seharusnya dapat menghindarkan praktik-praktik kekerasan di sekolah oleh para guru, karena dasar pendirian komite sekolah adalah komitmen dan loyalitas serta kepedulian masyarakat terhadap peningkatan kualitas sekolah.

Masyarakat mesti paham salah satu fungsi komite adalah melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan. Jika fungsi ini sudah berjalan, dan kekerasan dalam pendidikan sangat ditentang oleh masyarakat, maka peristiwa di SMP Demak yang terjadi semestinya tidak terjadi. Jika akhirnya terjadi kekerasan terhadap murid, kepala sekolah harus melakukan evaluasi ulang terhadap kemampuan guru dalam mengajar serta bagaimana caranya menghadapi sifat dan perilaku murid-murid yang beraneka macam. Lepas, apakah peristiwa tersebut diketahui atau tidak oleh orangtua murid, komite sekolah, atau media pemberitaan.

Yatun R. Hasbullah
SMAN 1 Ciamis