01 Januari 2008

Merengek Pengen Perosotan

SUPRIADI, anak semata wayang yang maish berumur sekitar 7 tahunan ini hidup berkelana di kawasan Dadaha tanpa rawatan dan kasih saying orang tuanya. Entah bagaimana historis kehidupannya. Yang jelas, kini dia hidup sendiri, mengikuti hembusan angin yang membuatnya bergerak tak pasti. Tanpa tujuan jelas.

Dadaha adalah tempat yang mempertemukan kami bertiga. Dia datang menghampiri kami seraya berkata, “Ukeun teh!”

Saat itu juga, senda gurau kami terhenti ketika mendengar lantunan lagu ngilu serta raut wajah polos Supriadi yang menunjukan sebuah kepedihan. Nurani bergetar. Kami tak kuasa menahan iba. Kehadiran Supriadi di hadapan kami seolah memberikan peluang inspirasi kami.

The opportunity just will come at the first, not to second
. Kalimat itu melintas di benak kami berdua. Pembelajaran tentang kejurnalisan yang dulu sempat kami ikuti, kami praktikan di sini. Beberapa hal mendasar kami tanyakan kepada sosok mungil itu.
Kehidupannya tidak seindah dunia kita. Sejak kecil, ia sudah sendirian di tepi jalan Dadaha. Setiap hari, ia makan dengan harapan uluran tangan. Baju hijau yan ia kenakan adalah satu-satunya baju yang ia miliki.

“Bajunya dicuci sendiri, diditu. Eueu di Di Pancasila.” Suaranya semakin melemah. Sebuah tanda tanya besar bagi kami. Tadinya, ingin sekali kami mengulik lebih jauh. Tapi, melihat matanya sudah berkaca-kaca dan kami takut menjadi beban psikologis buat dia, akhirnya kami menyakan hal lain.
Sama dengan anak-anak yang kurang beruntung untuk mengenyam pendidikan. Ingin sekolah. Kami jadi terenyuh, bercermin pada diri sendiri yang kadang menyia-nyiakan kesempatan untuk belajar. Saat ditanya tentang cita-citanya, dia mengungkapkan bahwa dia ingin menjadi pedagang hp (handphone-red) karena menurut dia, menjadi penjual hp akan membuat dia
banyak uang.

Ketika kami mencatat perkataannya, sambil sedikit merengek, dia mengungkapkan keinginannya untuk bisa bermain seluncuran yang menjadi salah satu wahana bermain anak-anak di pesta rakyat. Kami tanya alasannya mengapa dia belum mewujudkan keinginan jangka pendeknya itu. “Abi teu gaduh acis, da kedah gaduh 10 rebu heula!”
Mendengar rengekan itu, kami jadi teringat akan sikap kami yang begitu manja saat keinginan harus mereka wujudkan. Padahal, dia, seorang manusia kecil, begitu sulitnya mewujudkan keinginannya yang hanya ingin bermain perosotan.

Ngilu hati ini. Sebuah pembelajaran baru untuk kehidupan kami. Kemandirian yang belum sama sekali kami sentuh, ternyata seorang anak lugu tak beralas kaki yang meluluhkannya.
Sosok Supriadi merupakan salah satu potret anak bangsa yang kurang beruntung. Dia butuh uluran tangan orang-orang dermawan. Butuh perlindungan, merindukan kasih sayang. Coba buka mata kita. Wujudkan Indonesia 2015 yang jauh dari kemiskinan dan kebodohan! Merdeka!

S. A. Deliabilda & Depania N. Saqiena
deliabilda-tiemuttaqin.blospot.com &
mojang-ciawi.blogspot.com
SMA Al Muttaqin

Tidak ada komentar: