28 Desember 2007

Surat untuk Pak Walikota

SEBELUMNYA, maaf kalau saya mengganggu kesibukan bapak yang saya yakin kesibukan itu ditujukan untuk memakmurkan masyarakat Tasik bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan
pribadi. Saya adalah warga kota Tasik yang mengenyam pendidikan di SMA Al Muttaqin.
Saya menulis surat ini semata-mata karena saya peduli pada kota yang saya tempati.

Saya memang bukan orang Tasik asli. Kalau Tasikmalaya diumpamakan manusia tentunya umur enam tahun adalah masih lucu-lucunya tapi Tasikmalaya bukanlah manusia.
Tasik adalah sebuah kota yang mulai berkembang dan terkenal sebagai kota santri. Saya yakin sebutan itu bukan hanya isapan jempol belaka. Dengan adanya 111 pesantren yang ada di Kota Tasikmalaya, sudah membuktikan bahwa Tasik memang Kota Santri. Tapi apakah sebutan itu akan terus ada atau akan menguap, lalu hilang?

Banyak hal yang saya pelajari dari kota ini. Tata bahasanya, adat istiadat, budaya dan banyak hal lagi tapi saat ini saya tidak akan menceritakan pada bapak tentang hal yang banyak itu. Saya hanya ingin bapak tahu tentang kehidupan kecil seorang pelajar.

Pak, apakah Bapak pernah mengunjungi satu sekolah lalu ke sekolah lain? Pernah berbincang
dengan banyak pelajar dalam waktu yang relatif lama dan hanya bapak dan mereka yang ada di tempat itu? Kalau bapak tidak pernah melakukannya, saya akan membantu bapak agar bapak tahu apa yang ada di pikiran kami.

Saya tahu tugas pelajar adalah belajar semaksimal mungkin untuk kemajuan dirinya sendiri, daerahnya dan bangsanya tapi apa kami bisa belajar dengan baik kalau biaya pendidikan selalu bertambah dari waktu ke waktu?

Dengan satu pertanyaan yang selalu ada di benak kami, apa kami masih bisa sekolah bulan depan, semester depan, bahkan mungkin tahun depan? Apa mungkin dengan banyaknya target yang harus dicapai tanpa ada yang mengerti seberapa besar kemampuan kami dalam belajar, kami bisa lulus sekolah dengan kualitas yang bisa dibanggakan?

Apa mungkin ilmu yang disampaikan akan benar-benar dimengerti kalau para pengajarnya sendiri bukan dari bidangnya? Bukankah Rasulullah mengajarkan bila kau ingin bertanya, tanyalah pada yang ahli? Apa mungkin kota Tasikmalaya dapat mencetak generasi muda yang
tidak hanya berilmu tapi juga beriman kalau orang yang seharusnya menjadi tauladan kami, bertindak setengah-setengah dalam menjalankan tugasnya?

Apa kami bisa berkembang dan maju kalau kami berjalan sendiri? Pak, sudah jadi rahasia
umum, banyak sekali tikus-tikus kecil yang merampas hak kami, merampas apa yang seharusnya menjadi milik kami sehingga kami tidak bisa menggunakan buku-buku bermutu, laboratorium lengkap dan fasilitas layak. Apa yang akan bapak lakukan pada tikus-tikus
kecil itu?

Pak, kalau Bapak punya waktu, mampirlah ke sekolah- sekolah yang ada di Kota Tasik. Katanya pelajar adalah generasi muda yang nantinya akan meneruskan kerja pejabat yang ada di pemerintahan tapi kami tidak diberi kesempatan bertemu dengan pejabat-pejabat itu. Tidak pernah diberi waktu untuk mengeluarkan uneg-uneg dan menyampaikan saran kami.

Jujur Pak, sampai saat ini saya belum pernah melihat Bapak. Jangankan dari jauh, dari dekatpun tidak pernah. Bagaimana mungkin warga Tasik akan mencintai pemimpinnya
kalau tidak pernah bertatap muka. Bukankah pemimpin akan dicintai kalau ia dekat
dengan rakyat? ***

Aulya Deffitha (veteran Q-Smart SMA Almuttaqin)

Tidak ada komentar: